KONTEMPORER: Pengunjung memindai gambar menggunakan Augmented Reality |
SURABAYA- Pertanyaan tentang eksistensi
manusia saat dilahirkan, dipertemukan, dan dipisahkan menjadi kerikil yang
menggelitik pikiran B.G Fabiola Natasha (47). Ketika kelahiran direpresentasikan
dengan hitam dan putih. Warna diciptakan oleh lingkungan dan masyarakat. Filosofi
tersebut menjadi benang merah pameran foto tunggal bertajuk “Puja” yang
dihelat di Visma Art.
Terdapat 13 karya foto hitam
putih tergantung di ruang berdinding plester sejak 11 Maret lalu. Selain foto
hitam putih, ada pula seni instalasi yang
semuanya dibuat menggunakan bahan daur ulang. Keunikan karya perempuan
kelahiran Surabaya 28 Desember 1975 ini tampak dari bagaimana dia mempresentasikan
pameran. Tengok saja cara pemilihan pigura foto. Fabiola menggunakan kayu bekas
yang dimodifikasi sehingga tampak lawas dan otentik. “Saya request ke tukang
pigura saya kayunya harus bekas. Terserah mau cari dimana,” ucapnya. Detil
material adalah hal penting yang harus digaris bawahi agar tercipta harmonisasi
konsep. Seniman bertangan dingin ini mengolah sesuatu yang selama ini dianggap
tak berguna dan terabaikan. “Ini lho akar bekas pohon tumbang saat badai di
Surabaya tempo hari tak pungut,” jelasnya sambil menunjuk instalasi yang juga
digunakan untuk spot testimoni pengunjung itu.
OTENTIK: Fabiola (tiga dari kiri) menjelaskan makna dari konsep pameran Puja. |
Insting seorang seniman berbicara
saat karyanya berbicara. Menganggap yang terabaikan ada dan melihat nilai dari
sebuah benda. Mungkin bagi kebanyakan orang, semua
yang dibidik Fabiola ini tak ada nilainya. Tapi itu justru melahirkan ide yang
matang, dibangun bersama konsep unik untuk berkarya. Karya kontemporer itu
mengisyaratkan makna dan menegaskan arti bahwa semua bisa diabaikan dan hilang
tak berbekas. Termasuk manusia.
Selain bingkai
yang menjadi daya tarik, jepretan foto-foto yang dihasilkan menggunakan kamera mirrorless
lensa makro dan smartphone itu dipamerkan dalam bentuk lingkaran. Lingkaran ini
membingkai obyek visual hitam putih dan gradasinya. Tampilan itu sengaja dipilih
senada dengan konsep keseluruhan pameran. Yakni penggabungan Enso sebagai circle
of enlightenment dan Wabi Sabi sebagai acceptence of
transience.
Dalam percakapan
bersama para pengunjung sore itu (14/3), perempuan berdarah Tionghoa-Belanda
itu bercerita saat melihat tayangan tentang bhiksu yang menggambar
mandala selama berbulan-bulan. Sang bhiksu membuat ukiran di atas
pasir. Sangat teliti dan detil hingga terbentuk mandala berbentuk lingkaran
besar. Namun Ketika sudah jadi, ia menyapu mandala tersebut.
Menghancurkannya tak lebih dari lima menit. “Disapu begitu saja. Padahal
ia buat itu sangat lama. Kenapa? Belakangan saya
memaknainya bahwa everything is nothing. Seperti hidup.
Semua bisa hilang atau berubah begitu saja,” ujarnya.
Masih tentang filosofi,
Fabiola membaca konsep Wabi Sabi dari Jepang tentang menghargai keindahan
dalam ketidaksempurnaan. Pun saat memahami konsep Enso. Lingkaran
sebagai simbol keanggunan, kekuatan alam semesta, pencerahan tertinggi, enlightenment, atau
yang disebut Satori. “Untuk menggambar Enso, yang saya gunakan menggunakan
tinta emas dan hitam ini, diperlukan pikiran yang benar-benar bersih. Clear.
Tidak lagi terikat pada tubuh dan roh,” tegasnya. Perenungan spiritual tentang
makna kehidupan ini menjadikan Fabiola menghargai dunia.
Selain pameran
foto yang mengangkat konsep Wabi Sabi dan Enso, Fabiola juga merilis buku. Ada 26
karya foto dan 8 haiku di dalamnya. Beberapa karya dilengkapi
dengan animasi yang dapat dinikmati dengan cara memindai gambar menggunakan aplikasi Augmented
Reality, Aryanna. Masih menggunakan benang merah yang sama, buku juga memuat
perenungan spiritual sang perupa.
“Puja” mengungkap banyak filosofi hidup yang membuka berbagai interpretasi makna dari siapa saja yang menikmatinya. Bagi perupanya, “Puja” adalah jalan untuk mengingat dan menerima perjalanan hidup. Seperti hitam atau putih. Ada sifat baik atau buruk.
Reporter: Asa Wisesa Betari